Friday, March 16, 2007

Hak Cipta dan Access to Knowledge

oleh Ari Juliano Gema

Beberapa hari lalu saya diundang oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) untuk memberikan masukan kepada YLKI dalam rangka mempersiapkan usulan revisi UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (UUHC). Lho, apa hubungannya YLKI dengan revisi UUHC?

Ternyata, sudah sejak tahun 2005 YLKI bersama dengan Consumers International on the Regional Office of Asia and Pacific (CIROAP) mengadakan penelitian tentang keleluasaan maksimal yang disediakan oleh instrumen internasional mengenai Hak Kekayaan Intelektual, khususnya Hak Cipta, kepada negara berkembang dalam rangka meningkatkan keleluasaan untuk melakukan akses terhadap ilmu pengetahuan (access to knowledge) sebagai bagian dari hak konsumen. Penelitian itu dilakukan dengan mengkaji regulasi di bidang hak cipta yang berkaitan dengan access to knowledge di sebelas negara berkembang se-Asia Pasifik, termasuk Indonesia.

Pembatasan Hak Cipta

Hak cipta memberikan hak eksklusif kepada pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya. Dengan begitu, pencipta atau pemegang hak cipta dilindungi haknya oleh Negara untuk melarang atau memberikan izin kepada pihak lain untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, kecuali untuk hal-hal yang dibatasi dalam UUHC.

Penelitian YLKI dan CIROAP di Indonesia khusus menyoroti beberapa ketentuan dalam UUHC yang mengatur pembatasan hak cipta. Salah satu ketentuan itu adalah adanya kondisi tertentu yang tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta sepanjang sumbernya disebutkan atau dicantumkan, yaitu antara lain penggunaan ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan, pengambilan ciptaan pihak lain untuk kepentingan pembelaan di pengadilan, dan pengambilan ciptaan untuk keperluan ceramah ilmiah atau pertunjukan yang tidak dipungut bayaran, yang kesemuanya itu tidak merugikan kepentingan yang wajar dari penciptanya.

Hasil penelitian YLKI dan CIROAP mengungkapkan bahwa kata-kata “penggunaan” dan “pengambilan” itu tidak jelas apakah termasuk untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaan sebagaimana dimaksud oleh UUHC. Ketidakjelasan ini dapat dijadikan alasan oleh pencipta atau pemegang hak cipta untuk mempermasalahkan perbanyakan dan/atau pengumuman ciptaannya oleh pihak lain meski untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan.

Pengertian “kepentingan yang wajar” menurut UUHC adalah suatu kepentingan yang didasarkan pada keseimbangan dalam menikmati manfaat ekonomi atas suatu ciptaan. Atas pengertian tersebut, UUHC tidak memberikan kriteria lebih lanjut untuk menentukan apakah suatu kondisi telah merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta atau pemegang hak cipta.

Fair Use

Saya sendiri melihat bahwa masalah keleluasaan access to knowledge ini sebenarnya berkaitan erat dengan masalah pengumuman dan/atau perbanyakan suatu ciptaan oleh pihak lain secara wajar sehingga tidak dapat dianggap sebagai pelanggaran hak cipta. Dalam rezim hukum Amerika Serikat (AS) hal ini dikenal sebagai “Fair Use”, sedangkan dalam rezim hukum Inggris dikenal sebagai “Fair Dealing”.

Di AS sendiri tidak ada kriteria yang pasti untuk menentukan suatu pengumuman dan/atau perbanyakan ciptaan oleh pihak lain itu dapat dianggap fair use. Namun, dalam praktek, hakim di AS seringkali mempertimbangkan empat hal untuk menyelesaikan perselisihan yang berkaitan dengan fair use tersebut, yaitu, pertama, dengan melihat hasil pengumuman dan/atau perbanyakannya. Apabila ada informasi, ekspresi, nilai estetika, pemahaman atau sudut pandang baru atas sebagian atau seluruh ciptaan yang diumumkan/diperbanyak oleh pihak lain tersebut, maka kemungkinan besar hakim akan memutuskan bahwa pengumuman/perbanyakan ciptaan oleh pihak lain itu dapat dianggap fair use.

Kedua, menilai aspek publisitas ciptaan. Apabila suatu ciptaan belum pernah dipublikasikan oleh penciptanya, maka kemungkinan besar hakim akan memutuskan bahwa pengumuman/perbanyakan ciptaan oleh pihak lain itu bukan termasuk fair use.

Ketiga, menilai kualitas bagian ciptaan yang diambil. Meskipun bagian yang diambil dari suatu ciptaan hanya sebagian kecil saja, namun kalau bagian kecil itu merupakan ciri khas dari suatu ciptaan, kemungkinan besar hakim akan memutuskan bahwa pengumuman/perbanyakan bagian dari suatu ciptaan oleh pihak lain itu bukan termasuk fair use.

Keempat, menilai dampak pengumuman/perbanyakan ciptaan terhadap hak ekonomi pencipta. Apabila pengumuman/perbanyakan suatu ciptaan oleh pihak lain mengakibatkan kerugian materiil bagi pencipta atau kehilangan peluang untuk mendapatkan keuntungan (opportunity lost), maka kemungkinan besar hakim akan memutuskan bahwa pengumuman/perbanyakan ciptaan oleh pihak lain itu bukan termasuk fair use.

Dalam praktek, penilaian hakim memang tidak selalu menggunakan empat hal di atas seluruhnya. Kadang hanya dengan mempertimbangkan dua hal saja hakim sudah memiliki keyakinan untuk memutuskan apakah tindakan tersebut dapat dianggap fair use.

Saya pikir, UUHC hasil revisi nanti harus juga memuat kriteria yang jelas seperti hal di atas. Sehingga dapat memberikan panduan bagi setiap orang yang ingin mengumumkan/memperbanyak ciptaan orang lain dalam rangka access to knowledge. Hal ini penting untuk memperjelas keseimbangan antara kepentingan pencipta dan kepentingan umum.

Labels: , ,

0 Comments:

Post a Comment

<< Home